Ericktristanto’s Blog

Just another WordPress.com weblog

RINGKASAN BUKU “THE WORLD IS CURVED” KARYA DAVID M. SMICK

  1. AKHIR PEREKONOMIAN AMERIKA SERIKAT

Kemajuan dunia berhadapan dengan krisis likuiditas besar yaitu Krisis Kredit Besar 2007-2008. Dengan cepat, bank-bank dan institusi finansial dunia lainnya berhenti mengeluarkan pinjaman. Di seluruh dunia, berbagai kesepakatan finansial pun berhenti mendadak. Di AS, banyak pembeli rumah yang potensial tidak bisa menutup pembelian mereka. Sistem finansial global mulai terperosok.

Pasar telah menjadi panik karena kerugian di dalam apa yang dikenal sebagai pasar subprime, pasar kredit perumahan dan instrumen keuangan yang berkaitan dengan kredit perumahan yang relatif kecil yang terkait dengan peminjam yang tidak punya sejarah kredit atau sejarah kredit yang buruk. Tetapi, bagaimana bisa gagal bayar sejumlah kredit rumah menyebabkan hancurnya pasar saham global dan meruntuhkan pasar kredit? Lagi pula, masalah pinjaman paling besar bernilai $200 miliar di tengah pasar global yang memiliki nilai ratusan triliun dolar.

Hanya dalam beberapa hari, krisis ini telah menyebar ke pasar surat berharga yang sebelumnya dianggap sebagai basis investasi teraman bagi reksa dana pasar uang. Itu artinya Amerika tengah harus menghadapi masalah. Tiba-tiba, satu-satunya pasar yang dianggap investasi paling aman, paling likuid (tidak berhubungan dengan pemerintah) di dunia menjadi tersangka. Fondasi dasar dari sistem finansial berhadapan dengan krisis kepercayaan. Suplai kehidupan dari sistem global ini tiba-tiba berhadapan dengan risiko adanya investor menuangkan dana mereka ke dalam satu-satunya investasi jangka pendek yang paling terpercaya – surat utang berjangka tiga bulan yang dikeluarkan Departemen Keuangan AS. Mengapa hal itu berbahaya? Ini berarti likuiditas pasar finansial mulai mengering. Ketika kepanikan yang sama terjadi selama Depresi Besar, para investor dan penabung menyimpan uang mereka di bawah kasur. Berbagai perusahaan besar memarkir cadangan uang tunai mereka di pasar surat-surat berharga.

Pasar kredit dunia pun macet karena tidak ada orang yang yakin dengan liabilitas pihak lain. Hal tersebut adalah keadaan yang berbahaya karena kalau pasar kredit privat berhenti berfungsi, seluruh ekonomi berada dalam posisi berbahaya – orang kehilangan pekerjaan, pensiun mereka dihapus, nilai bersih dari tabungan rata-rata yang dimiliki keluarga pun dengan cepat ambruk ketika harga rumah mereka merosot di bawah harga cicilan yang masih harus mereka bayar. Suku bunga pinjaman konsumsi pun melambung – kredit mobil, kartu kredit, dan semuanya – berarti cepat atau lambat, ekonomi akan menerima hantaman.

Pada dasarnya, apa yang sebenarnya terjadi adalah: institusi-institusi keuangan di AS sebelumnya menempatkan sebagian besar pinjaman subprime-nya yang tidak aman ke dalam fasilitas holding terpisah, membagi jumlah totalnya ke dalam beberapa porsi yang lebih kecil, dan menjual bagian-bagian ini ke berbagai institusi finansial di Eropa dan Asia. Tidak lama kemudian, limbah beracun ini memercik seluruh sistem keuangan negara maju, tetapi tidak ada yang tahu dari mana asalnya.

Integrasi pasar-pasar finansial dunia selama dua puluh lima tahun terakhir telah menghasilkan era emas penciptaan kekayaan dan pengurangan kemiskinan yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Dengan masuknya China dan India ke sistem kapitalis global, dunia maju selama masa luar biasa ini mencapai hal yang hampir tampak seperti mujizat. Dalam waktu kurang dari dua dekade, pasar bebas global mengalami pelipatgandaan tak terduga dalam hal tenaga kerjanya – 2,7 miliar ke 6 miliar, tanpa adanya revolusi, tanpa kericuhan serius di jalanan, bahkan tanpa ancaman penutupan masal dari sistem perdagangan yang ada.

Ekonomi global spektakuler yang ada sekarang ini tidak stabil dan mengkhawatirkan. Ketika pekerjaan dan investasi berpindah-pindah di seluruh dunia, banyak orang kehilangan pendapatan dan pensiun. Dan ketika pergesaran besar ini terjadi, manfaat ekonomi dari sistem ini sering kali tidak disebarkan dengan adil. Seperti yang dikatakan Nina Easton dari Fortune. “Tidak ada banyak rasa aman di tengah ekonomi global yang bergerak cepat di mana para pekerja berusaha sekuat tenaga mengejar kesempatan (tanpa mengindahkan aturan resmi), terus memantapkan karir mereka (tidak bergantung pada senioritas), dan merancang sendiri tabungan mereka (tanpa bergantung pada perusahaan pensiun).”

Yang terpenting, ekonomi global baru ini amat sangat berbeda dari sistem lawannya di mana korporasi dan para pengatur elitenya mengatur sistem kendali global demi menjaga stabilitas relatif. Sekarang yang terjadi adalah sebaliknya. Yang lebih sering terjadi adalah berbagai korporasi besar terus terancam hancur oleh kelas individu yang sangat cerdik berusaha dan mengambil risiko, di mana mereka sendiri juga terus berhadapan dengan kemungkinan adanya kegagalan. Seperti IBM yang pernah terancam oleh Microsoft, sekarang ini Microsoft terancam oleh perusahaan-perusahaan baru yang melek internet, seperti Google atau sistem open-source seperti Linux.

Situasi ini mungkin menjadi lebih ruwet lagi dikarenakan realitas bahwa kita sedang memasuki suatu abad interaktif yang baru di mana kolaborasi massal melalui internet sedang mengubah cara bisnis diciptakan dan menambah nilai. Ini adalah suatu proses reformasi bisnis internasional bergaya populis di mana dinamika bottom-up mungkin secara perlahan mengambil alih ekonomi global.

Pada akhirnya. Masa depan ekonomi dunia yang terglobalisasi bergantung pada pertanyaan mendasar berikut: Apa definisi likuiditas? Dan mengapa likuiditas (dan saudaranya, ketersediaan kredit) bisa tampak melimpah di satu waktu dan semenit kemudian tampak menguap habis? Sejauh mana likuiditas mencerminkan nilai pertumbuhan sejati di dalam ekonomi global yang sedang berkembang? Kalau hal ini ditelanjangi sampai ke esensinya, likuiditas mungkin saja tidaklah lebih daripada kepercayaan. Gubernur Federal Reserve, Kevin Warsh, mengutarakan pendapat ini: “Likuiditas kuat di pasar-pasar modal AS tampak ketika hasil-hasil ekonomi dipercaya sebagai sesuatu yang menguntungkan. Ketika hasil-hasil [yang sangan negatif] dipandang amat tidak mungkin terjadi atau, paling tidak, menjadi subjek dari pengukuran yang cukup tepat, kondisi-kondisi ini menjadi ladang subur tumbuh berkembangnya likuiditas.” Alan Greenspan sebagai ketua Federal Reserve juga berpendapat kalau likuiditas hanyalah kata lain bagi kepercayaa (confidence)

Esensinya, keberlangsungan hidup dari sistem finansial dunia bergantung pada permainan kepercayaan global. Ukuran pasar-pasar finansial, bergantung pemerintahnya, telah menjadi satu dan begitu besar sehingga tidak ada cara lain untuk menjaga stabilitas selain dari psikologi kepercayaan. Pemerintah-pemerintah itu sendiri tidak bisa membuat peraturan untuk mengembalikan keteraturan. Mereka hanya bisa memproyeksikan kepada pasar-pasar itu suatu rasa kalau mereka tahu apa yang mereka sedang lakukan. Pemerintah-pemerintah mulai mendefinisi ulang konsep cadangan bank sentral. Semua itu bukan cadangan lagi – semua itu modal investasi pemerintah yang dipersiapkan untuk belanja besar-besaran secara global.   

 

  1. CATATAN TENTANG PEREKONOMIAN CHINA

Bagi perekonomian global, China melambangkan paradoks yang luar biasa. Di satu sisi, China tidak punya pilihan selain berusaha berkembang dengan laju pertumbuhan yang belum pernah ada sebelumnya. Pertumbuhan yang lebih lambat berarti tidak ada cukup pekerjaan dan karenanya berpotensi lebih besar – dan tentu saja lebih berbahaya bagi ketegangan politik dan sosial. Di sisi lain, China ketika berkembang cepat juga berhadapan dengan risiko menjadi momok gelembung ekonomi dan finansial bagi dunia. Di China sendiri, para pembuat keputusan birokratik terus menimbun berbagai komoditas dengan tujuan mendorong mesin ekonomi yang terus tumbuh itu. Pasar-pasar sahan yang meningkat mulai menunjukkan ketidakstabilan yang berbahaya. Di China, inflasi dengan cepat meningkat, yang ditemani oleh berbagai dugaan peningkatan yang berkaitan dengan inflasi di seluruh negara maju.

Ketika gelembung China meletus, China bisa dengan cepat menjadi ancaman penurunan harga bagi dunia. Dalam skenario perlambatan yang terjadi setelahnya, China bisa jadi tidak punya pilihan lain selain melempar semua timbunan komoditas dan barang-barang jadi ke pasar-pasar dunia. Hal ini berpotensi menyebabkan anjloknya harga global, menyajikan berbagai komplikasi besar bagi para pembuat keputusan di negara-negara maju. Menurut skenario semacam ini, harga-harga komoditas ketika ada di titik ketidakseimbangan akan terjun bebas, karena sebagian tekanan peningkatan harga sebenarnya adalah hasil dari pertaruhan para spekulator yang berusaha mendapatkan harga-harga yang lebih tinggi. Ketika tren peningkatan ini mulai berbalik, para spekulator ini akan dengan cepat menarik diri dan menyelamatkan apa yang mereka miliki, menyebabkan harga terjun bebas.

Elemen paradoks lain tentang China: Peran arus modal. Di satu sisi, China butuh teknologi negara-negara maju dalam  bentuk suntikan investasi modal langsung terspesialisasi dari luar negeri. Di sisi lain, China adalah eksportir modal utama. China menggunakan cadangan-cadangan bank sentralnya (yang sekarang ini berjumlah sangat besar karena Beijing sengaja menjaga mata uangnya undervalued) demi memberi keuntungan strategis bagi investasi di luar negeri. Sederhananya adalah China melambangkan tindakan penyeimbangan rumit bagi para pembuat kebijakan negara-negara maju, skenario yang melibatkan semacam suatu kumpulan variabel yang rumit yang membuat perencanaan strategis dalam manajemen krisis menjadi teramat sulit.

Akankah prediksi bahwa China akan memimpin dunia suatu hari kelak lebih punya akurasi daripada berbagai prediksi terdahulu tentang Jepang, Prancis, Uni Soviet, dan Argentina? Mungkin. Tetapi, jangan kesampingkan India, si kuda hitam. Namun, India bukanlah eksportir modal utama. Dari sekitar satu miliar penduduknya, kurang dari lima juta bekerja dalam bidang manufaktur. Kemungkinannya, ancaman India bagi dunia tidak sebesar China

Faktanya, China telah mencapai laju pertumbuhan perekonomian sebesar 10% dalam waktu kurang dari satu dekade tanpa adanya preseden apa pun dari dunia. Yang tidak diketahui adalah India mungkin melakukan hal yang sama tidak lama lagi. Dalam waktu beberapa tahun terakhir, India telah mencapai laju pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 8% atau lebih.

Pastinya, perekonomian India, dengan penduduk kelas menengahnya yang berjumlah besar, berpendidikan bagus dan mampu berbicara bahasa Inggris, sedang dalam fase tinggal landas. Kalau China itu pabriknya dunia, India itu back officenya dunia. Secara umum, back office menawarkan lebih banyak kestabilan jangka panjang daripada pabrik. Ketika model yang ada di China bergantung pada berbagai variabel eksternal yang tidak terduga dan sama sekali tidak bisa dikendalikan – ekspor dan arus masuk investasi langsung teknologi asing – India menikmati perekonomian yang secara umum didorong oleh permintaan domestik, walaupun memiliki lebih banyak arus modal masuk yang bersifat jangka pendek. Terlebih lagi, India beroperasi di bawah tingkat keamanan yang relatif lebih baik, aturan hukum ala Anglo-Saxon, walaupun tidak sempurna bagi investor dari luar, tetap menjadi perbandingan mencolok bagi situasi legal China yang sumir dan bahkan tidak berwujud.

Memang benar, perekonomian India menurut sejarahnya sering dihalangi oleh inflasi, oleh kepemimpinan politik yang relatif tidak konsisten, dan mungkin yang terbesar adalah, oleh infrastruktur yang lemah, dan karena itulah proses pembangunan infrastruktur yang besar sekali dan berlangsung selama satu dekade telah dimulai. Selama lima belas tahun terakhir, inflasi secara impresif berkurang dari 14% ke 5,5%, tetapi masih harus ditekan lagi. tugas semacam itu tidak akan mudah dikarenakan fenomena inflasi upah yang mengglobal. Terlebih lagi, India telah menjadi lebih rentan dikarenakan bertambahnya defisit transaksi berjalannya.

Poin yang lebih besar adalah China, yang membuka perekonomiannya di tahun 1979, memiliki keunggulan dua belas tahun lebih awal dibanding India, yang mulai melakukan hal tersebut di tahun 1991. Tetapi, India mungkin berada di posisi yang lebih baik daripada China dulu ketika berada di tahap pembangunan ini. Investasi asing langsung India, sekarang ini bernilai sekitar $50 miliar, kira-kira sama dengan China lima belas tahun sebelum reformasinya. China tumbuh lebih cepat, tetapi India lebih stabil, dengan sektor finansial yang berpotensi tidak terlalu terbebani oleh kredit macet

Jadi isunya bukanlah apa yang telah India lakukan, tetapi apa yang negara ini lakukan dalam beberapa dekade selanjutnya kalau kebutuhan infrastruktur, hukum pembatasan tenaga kerja, dan halangan lain yang mungkin muncul diperbaiki dengan tepat, seperti yang dijanjikan oleh pemerintahnya. Perhatikan juga apakah manufaktur mencapai titik jenuh global, sehingga China berupaya berkompetisi secara global di arena jasa, bila begitu India akan mendapat ancaman.

Jadi, pada dasarnya, China adalah suatu perekonomian yang didorong oleh momentum. Momentumnya berakar dari kebutuhannya, paling tidak untuk sekarang ini, terhadap arus masuk luar biasa dalam hal pengetahuan teknis dan arus ekspor yang besar. Apapun yang mengusik momentum ini – baik perlambatan dalam hal investasi, penurunan ekspor, perang dagang yang dicetus oleh pemanasan global, atau blunder teknis yang dilakukan oleh kepemimpinan China ketika berusaha merekayasa pendaratan yang halus – berpotensi menciptakan faktor pengali negatif terhadap seluruh sistem China, dan pastinya juga terhadap seluruh dunia. Hal  lain yang harus diperhatikan: memburuknya inflasi dan tuntutan Eropa atau Amerika terhadap imbal balik investasi yang China, karena berbagai alasan politik, tidak bisa atau tidak akan tawarkan

Implikasi globalnya serius. Bersama-sama, G2 yang baru, AS dan China, selama lima tahun terakhir menghasilkan lebih dari 60% pertumbuhan akumulatif total PDB dunia. Faktanya: Amerika telah berhubungan harmonis bahkan intim dengan China. Dan secara luas, dengan seluruh dunia. Seluruh sistem global semakin terkait dengan sistem politik, perekonomian, dan finansial China yang remang-remang dengan transparansi terbatas. Dalam hal China, kita hampir tidak bisa tahu apa yang akan segera terjadi, dan kita tidak akan bisa membalikkan badan. Memang, kalau kita mau mempertahankan perekonomian global baru yang ada sekarang ini, kita perlu membantu para pejabat China belajar bagaimana menanggapi dan bekerja bersama sistem internasional secara keseluruhan. Kita sangat membutuhkan upaya terkoordinasi untuk memandu makhluk buas yang berbahaya namun luar biasanya, makhluk yang punya kemampuan mengangkat dunia ke era kemakmuran yang baru – atau menenggelamkan kita ke jurang dalam penuh kekacauan.  

 

  1. BANK-BANK SENTRAL YANG TAK BERDAYA

Karena melemahnya perekonomian dan tidak stabilnya kondisi pasar finansial, para pembuat kebijakan di The Fed bisa memilih Opsi I. Mereka bisa memotong suku bunga jangka pendek secara dramatis, mungkin sebesar 1%, dalam sekali pukul, dan diikuti oleh pemotongan-pemotongan setelahnya. Tujuan Opsi I: memosisikan ulang kebijakan moneter semakin di luar kurva yang ada. Opsi II melibatkan pemotongan suku bunga yang lebih terkendali. Pendekatan inilah yang paling mungkin dihindari supaya tidak kembali ke skenario perekonomian tahun 1970-an. Tujuan dari Opsi II adalah kesuksesan berlipat tiga dalam hal menjaga inflasi, membatasi melemahnya dolar dan menstimulasi perekonomian. Namun, risikonya adalah kemungkinan semakin runtuhnya perekonomian sebagai hasil dari The Fed yang bertindak terlalu lamban dan terlalu enggan. Jadi, opsi mana yang dipilih Federal Reserve dalam berbagai diskusi internal mereka? Tidak dua-duanya. Alasannya adalah berbagai diskusi tersebut tidak pernah terjadi karena pasar finansial global dengan cepat main hakim sendiri. Dalam proses ini, pasar finansial global membuat keputusan untuk Federal Reserve. Pasar memilih Opsi I.

Sejak awal globalisasi, tugas ketua Federal Reserve hampir seperti bankir bank sentral dunia. Ini karena walaupun euro telah memiliki tingkat penggunaan dan visibilitas yang lebih besar dalam beberapa tahun terakhir, Federal Reserve sekarang ini masih berkuasa di dunia finansial yang sebagian besar terdolarisasi. Dengan kata lain, sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang masih mengaitkan mata uang mereka dalam satu bentuk atau lainnya dengan dolar AS. Itu artinya sang ketua harus memerhatikan bukan hanya berbagai kejadian yang terjadi di dalam perekonomian AS; dia juga harus memahami berbagai kompleksitas yang dimiliki berbagai perekonomian lain di dunia. Sampai pada satu titik, Federal Reserve selama beberapa tahun terakhir telah dipaksa untuk “terbang buta” tanpa adanya “radar” statistik normal untuk melaksanakan kebijakan moneter. Di masa lalu, sebagian indikator pasar berfungsi sebagai tanda peringatan penting bagi perbankan sentral.

Para bankir bank sentral dunia tidak bisa menyetujui satu saja definisi inflasi. Contohnya, para bankir bank sentral Eropa dikendalikan oleh rasa takut terhadap apa yang disebut sebagai headline inflation. Istilah ini adalah suatu pengukuran terhadap tingkat semua harga termasuk harga makanan dan energi. Sebaliknya, para bankir bank sentral AS percaya bahwa headline inflation membawa terlalu banyak distorsi jangka pendek dan lebih suka menggunakan sesuatu yang disebut sebagai core inflation, pengukuran tingkat harga tanpa mengikutsertakan makanan dan energi di dalamnya.

Pengukuran mana yang lebih akurat? Orang-orang Eropa berpendapat bahwa untuk orang kebanyakan, mengisi tangki bensin mobil dan membayar tagihan makanan bukanlah aktivitas perekonomian yang remeh-temeh, dan karenanya harus diikutsertakan di dalam pengukuran inflasi. Pendapat tersebut menyatakan bahwa kenaikan harga makanan dan energi pada akhirnya akan memberikan efek penularan terhadap tingkat harga pada umumnya, terutama pada tuntutan upah yang disodorkan oleh serikat pekerja. Para pejabat AS membalas kalau faktor-faktor cuaca dan geopolitik bisa secara temporer mengusik arus harga makanan dan energi, karenanya mengubah gambaran harga secara luas. Terlebih lagi, rasa takut terhadap efek penularan terlalu dilebih-lebihkan, terutama di dalam perekonomian AS yang didominasi sektor jasa, di mana keanggotaan serikat pekerja  dalam beberapa dekade terakhir terus turun secara signifikan.

Dalam tingkah laku bisnis mereka, para bankir bank sentral menurut sejarahnya terus mengawasi satu perangkat lain, satu tanda peringatan yang disebut sebagai emerging market risk spreads (perbedaan antara suku bunga obligasi pemerintah yang menurut sejarahnya tidak sempurna di negara berkembang dan suku bunga ultra-aman milik Departemen Keuangan AS). Dalam era sekarang yang dipenuhi likuiditas berlebih, investor global, dalam upaya mereka mendiversifikasi portofolio mereka, telah menempatkan sejumlah besar modal ke dalam berbagai investasi obligasi negara berkembang yang memberikan pengembalian tinggi. Hasilnya, suku bunga dari utang yang tidak terlalu aman ini selama beberapa tahun terakhir telah beberapa kali melambangkan gambaran yang berprospek luar biasa bagus yang hampir tidak punya kesamaan dengan kenyataan yang ada.

Tetapi, setiap kali bank sentral ini campur tangan dan saham bergerak, ada pertanyaan yang muncul: Apakah pergerakan ini terjadi karena pasar memandang nilai yang tak terealisasikan di dalam saham-saham tersebut? Atau, apakah pergerakan tersebut hasil dari stimulus moneter saja, dan karenanya mulai menguap ketikan bank sentral ini menghentikan stimulusnya? Ekonom menyebut fenomena yang disebut belakangan sebagai moral hazard, menyelamatkan para pengambil risiko dengan menggunakan uang para pembayar pajak dan kebijakan pemerintah yang hanya mendorong semakin besarnya spekulasi berisiko.

Februari 10, 2013 Posted by | Uncategorized | , , , , | Tinggalkan komentar